Pengertian Agama Dan Masyarakat
oleh : Lesman Giawa
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFVEY_pMM3rPuYf8LjzKPCk8lsIT3kRz45hzT4rWFMFYF3Bjx7qCLq5UnVeWVg84wjCZZfROLXEwryOk8DQwiqhUwMOitJbOALSdNCcoMMVAR62ePjCvfR9O7HvkPPCsj-wX31WbkLIsrU/s320/261924_223805340992453_100000889670074_657420_299455_n.jpg)
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan
untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan
kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah,
bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan,
Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di
Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu,
kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar
kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah
menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasar
sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama
keanekaragaman agama dan kultur
di dalam negeri dengan pendatang dari India,
Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa
perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
Berdasarkan
Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk
oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khong Hu Cu (Confusius)”.
- Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
- Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
- Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
- Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
- Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
- Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
- A. Fungsi-Fungsi Agama
Tentang Agama
Agama
bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari
berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat
berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima
dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang
penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan
wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi
komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh.
Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang
melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama
mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang
buruk.
Agama
berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh
seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia.
Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran
hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta,
yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung
pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada
keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus
dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan
pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka
yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka
yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal
tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali
kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka
dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang
menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan
yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan
tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada
pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi
ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi
kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu
dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual
ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka
menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan
intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka
memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu
terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka
akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua
harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum
memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional,
keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal yang
tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal,
pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi
potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama
ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan
segala potensinya.
Agama,
dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia
untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup.
Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur.
Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang
bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya
adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi
kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada
manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan
sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan
yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran
ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol
mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran
agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang
dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan-
disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas
dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan
dimensinya.
B. Pelembagaan Agama
Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon.
Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara
seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan
Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang
disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh
masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut
formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga
keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa
berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak
yang tidak murni.
Sejarah
mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi
melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga
agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut
saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering
membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut)
yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa
baru.
Kasus-kasus
itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi
juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia
“tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde
baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap
kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku,
terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun
ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut
suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian
terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang
formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran
agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama
monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian.
Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai
cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya
pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
Demi
pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka
upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan
di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan
dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman
air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di
kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang
yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di
kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama
suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik
untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada
umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan
pejabat atau pimpinan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar