PLURALISME
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada
interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat
dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta
membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat
modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi
utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh
hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan
penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih
tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari
anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh
kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah:
perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah
adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya,
pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi
bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja
dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi
kedokteran.
PLURALISME AGAMA
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan
dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara
yang berlain-lainan pula:
- Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
- Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
- Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
- Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda
PLURALISME MENURUT BERBAGAI AGAMA
1. ISLAM
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai
dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk
dijalankan(Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama
adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah
adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menentang paham pluralisme dalam agama Islam.[1]
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh
kalangan Muslim
itu sendiri. [2]
Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan
dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi
solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan
sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. [3]
Di Indonesia,
salah satu kelompok Islam
yang mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal. Di
halaman utama situsnya terulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan
Penyayang, Tuhan segala agama."[4]
2. Kristen
Dalam dunia Kristen,
pluralisme agama pada beberapa dekade terakhir diprakarsai oleh John
Hick. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa menurut pandangan
fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas
bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang
timbul dari cabang masing-masing agama. Dari sudut pandang filsafat,
istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antartradisi dengan
berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung arti berupa teori bahwa
agama-agama besar dunia
adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat
yang misterius.
POLEMIK PLURALISME DI INDONESIA
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang
berkembang di Indonesia,
mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang
semula menyerap istilah pluralism.
Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris,
pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism
adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of
interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each
other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation."
Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yg mana
setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain,
berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."
POLEMIK
Saat ini pluralisme menjadi polemik di
Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian
awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :
- pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
- pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
- pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas
bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism
sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini
memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya
kerancuan bahasa.
Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan
bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah
semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.
CATATAN
Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas
pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan
sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam
arti "suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam
itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran
agama Islam [1].
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi,
hal ini di-salah-paham-i sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap
sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu
pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam
ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi
pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka
kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan
perkembangannya.
Tiga Model Pandangan Teologi
Agama-agama
Oleh : Lesman Giawa
Secara umum, ada tiga model pandangan
teologi agama-agama: eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
1.
Eksklusivisme
Pertama, pandangan eksklusivisme
memiliki pandangan eksklusif mengenai keselamatan. Eksklusivisme menegaskan
bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan
diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Ayat yang digunakan
umumnya adalah kitab Kis 4:12 dan Yoh 14:6. Dalam Gereja Katolik, Paus
Bonifasius VIII merumuskan pandangan ini dalam semboyan “Extra ecclesia nulla
salus” yang berarti “diluar gereja tidak ada keselamatan”.
Teolog yang mewakili pandangan eksklusif adalah Karl
Barth dan Hendrik Kraemer. Barth berpendapat bahwa agama
adalah ketidakpercayaan. Agama-agama merupakan upaya manusia yang sia-sia untuk
mengenal Allah. Allah hanya bisa dikenal kalau Allah sendiri yang
memperkenalkan DiriNya. Allah sudah memperkenalkan diriNya didalam dan melalui
Yesus Kristus. Injil adalah anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, sedangkan
agama-agama adalah upaya manusia yang sia-sia. Sebab itu, tidak ada hubungan
antara Injil dengan agama-agama. Tidak ada hubungan antara anugerah Allah di
dalam Yesus Kristus dengan upaya sia-sia manusia. Ini juga berlaku bagi agama
Kristen. Tetapi agama Kristen dibenarkan karena Injil anugerah yang
dipegangnya.
Hal senada, namun beda argumen disampaikan Kraemer,
yang berpendapat bahwa penyataan di dalam Yesus Kristus merupakan kriteria satu-satunya
yang dengannya semua agama-agama, termasuk agama Kristen, dapat dimengerti dan
dinilai. Yesus Kristus ditempatkan sebagai satu-satunya kriteria dalam memahami
dan menilai agama-agama. Penyataan umum diakui keberadaannya, teologi
naturalis, tetapi tidak berdiri sendiri. Penyataan umum itu harus terkait dalam
penyataan diri Yesus. Titik tolak Kraemer adalah “biblical realism” (kenyataan
alkitabiah) yang mengandung dua hal: realitas alkitabiah menunjuk pada
kesaksian mendasar Alkitab tentang kemahakuasaan Allah dan keberdosaan manusia
yang diperhubungkan dengan inkarnasi Yesus Kristus; dan pandangan mengenai
agama-agama lain sebagai sistem yang meliputi segalanya, yang masing-masing
ditandai pemahaman-pemahaman tersendiri akan totalitas eksistensi. Sebab itu,
antara Injil dan agama-agama tidak ada kesinambungan.
2.
Inklusivisme
Kedua, Pandangan inklusivisme yang berkembang sejak
Konsili Vatikan II. Pandangan ini mengandung dialektika penerimaan dan
penolakan agama-agama lain. Pada satu sisi, inklusivisme menerima adanya
manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, shingga dapat disebut suatu
tempat bagi kehadiran ilahi. Pada pihak lain, agama-agama ditolak sebagai yang
tidak mencukupi bagi keselamatan, karena hanya dalam krsitus saja ada
keselamatan. Kitab yang dijadikan dasar adalah kitab Lukas 4:21, 24:27, Kis
10:34-35, Yoh 1:1-4.
Teologi agama-agama berpandangan inklusivisme ini
dianjurkan oleh Yustinus Martir, Deklarasi Konsili Vatikan II, Karl Rahner
dan Hans Kung.
Yustinus Martir, bapa gereja abad kedua,
terkenal dengan istilahnya “Logos Spermatikos” (benih-benih logos/firman).
Martir, berdasarkan Yoh 1:1-5, berpendapat bahwa di dalam dunia ada logos
spermatikos yang merupakan bagian dari kehadiran Allah memelihara ciptaanNya
yang telah dirusakkan oleh dosa. Sejajar dengan filsafat Stoa, ia yakin bahwa
semua orang berpartisipasi dalam Akal kosmik universal, yaitu Logos ilahi yang
abadi, yang menjadi prinsip dari rasionalitas yang terpadu merembesi kenyataan
dasar alam semesta secara keseluruhan. Yesus Kristus itulah Logos ilahi yang
abadi. Teori Logos Spermatikos menyatakan adanya kehadiran Kristus dalam dunia
yang mengungkap kebenaran dalam filsafat dan dalam agama-agama.
Pandangan inklusivisme lainnya, kita
peroleh dari Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam dokumen Nostra
Aetate (Dewasa`Kita), yaitu Deklarasi tentang sikap gereja (Katolik) terhadap
agama-agama bukan Kristen. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dalam
agama-agama lain, ada usaha menanggapi kegelisahan hati manusia dengan pelbagai
cara sambil menganjurkan jalan, yakni ajaran (kultus), peraturan (etis), dan
ibadat suci (ritus); gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci
dalam agama-agama, dan memandang dengan penghargaan yang jujur bahwa tidak
jarang itu memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi semua masnusia.
Terhadap Hindu, Konsili Vatikan II memahami bahwa di dalam Hinduisme,
manusia meneliti misteri ilahi lalu mengungkapkannya dengan perbendaharaan
mitos yang luar biasa kaya dan dengan usaha-usaha filsafatnya yang tajam, dan
mencari pembebasan melalui bentuk-bentuk meditasi yang mendalam, atau pula
dengan berpaling kepada Allah dengan cita kasih dan pengharapan. Terhadap Budhisme,
ada diajarkan jalan, yang dengannya manusia dapat mencapai tahap pembebasan
sempurna atau atau dapat menggapai pencerahan tertinggi dengan usaha-usaha
sendiri atau dengan bantuan dari atas. Terhadap Islam, yang menyembah
Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan Maha kuasa,
Pencipta, Yang berbicara kepada manusia. Terhadap Yahudi, gereja Katolik
mendorong persaudaraan dengan umat Yahudi, dan menentang antisemitisme, sikap
anti Yahudi oleh fasisme Hitler masa perang Dunia II yang menewaskan enam juta
orang Yahudi.
Penganjur Inklusivisme, Karl Rahner,
menggabungkan suatu teologi yang bersifat kristosentris dengan pengalaman
keagamaan non-Kristen. Kristus tetap pusat dan kriteria dari anugerah dan
penyelamatan Allah. Sebab itu, orang non-Kristen disebutnya sebagai orang
Kristen anonim. Gagasan ini dikemukakan dalam empat tesis: agama Kristen
ditujukan untuk semua orang, sehingga agama lain tak diakui; agama nonkristen
menjadi saluran anugerah Allah dalam Kristus, sebelum Injil memasuki sejarah
individunya; agama Kristen menghadapi agama lain sebagai Kristen anonim; orang
Kristen sebagai barisan terdepan yang nyata dari harapan Kristen yang hadir
sebagai realitas terselubung dalam agama-agama lain. Tokoh inklusif lainnya, Hans
Kung, menyebut pendirian kritis-oikumenis, yang memandang agama dari
luar dan dari dalam. Dari luar dengan pengakuan akan kebenaran dalam
agama-agama, dan dari dalam, dengan kebenaran dalam agama sendiri.
3. Pluralisme
Ketiga, pandangan Pluralisme yang
tergolong kontroversial dan baru. Pandangan ini mengakui adanya kebenaran yang
sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda. Dasarnya adalah pengkajian
kembali berita Alkitab, khususnya mengenai Kristologi. Pluralisme menggeser
Kristosentris ke Theosentris, dengan dasar kitab Yoh 14:28, 17:3, 1Kor 15:28,
sikap teosentri Yesus, kitab Mazmur, nabi-nabi, dan filsafat agama. Penganjur
pluralisme, E.Hocking, menekankan perubahan fungsi pekabaran Injil dari
peran kristenisasi menjadi peran kemitraan dalam mengembangkan agama lain; Arnold
Toynbee menganjurkan untuk mengakui agama-agama lain sambil berpegang teguh
pada keyakinan agama sendiri; Ernst Troeltsch berpendapat bahwa
kebenaran suatu agama terikat pada suatu kebudayaan tertentu, dan Allah bekerja
melalui seluruh agama; John Hick menganjurkan revolusi Copernican dengan
memindahkan pusat agama dari Kristus ke Allah, sebagaimana Copernicus (matahari
pusat) mengubah pandangan geosentri Ptolemous (bumi pusat); Wilfred Cantwell
Smith menekankan penerimaan dan penghargaan pada agama-agama lain (moral
dan teologis), karena Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh kasih
dan yang menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan agama/komunitas
bersama-sama menuju pada satu tujuan akhir, yaitu Allah sendiri; Wesley
Ariarajah menggeser tekanan kristosentrisme ke teosentrisme, dan
mengusahakan dialog dalam penghargaan dan keterbukaan kepada agama-agama lain,
ayat-ayat eksklusif mestilah dipahami dengan seluruh kesaksian Perjanjian Baru
dan dipahami dari sudut bahasa iman, bahasa cinta.
Teologi agama-agama
(dalam bahasa Inggris Theology of Religions, dalam bahasa Latin Theologia Religionum) adalah
cabang dari ilmu teologi yang membahas bagaimana kekeristenan memberi respons
teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas agama di luar dirinya.[1] Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat
Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang
positif antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi.[1] Salah satu pionir di dalam teologi agama-agama adalah
teolog Inggris yang bernama Alan Race.[2]
Perbedaan Teologi Agama-Agama dengan
Studi Agama-Agama
Teologi agama-agama merupakan bidang ilmu yang berbeda dengan
studi agama-agama pada umumnya. Untuk menggambarkan perbedaan tersebut dengan
lebih jelas, maka kita perlu membandingkan fokusnya masing-masing.
Teologi Agama-Agama dan Sosiologi
Agama
Studi
sosiologi
agama-agama merupakan studi tentang hubungan-hubungan antara agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi.[3] Hal-hal yang menjadi perhatian dari studi ini adalah
bagaimana kepercayaan-kepercayaan agama tertentu memengaruhi suatu masyarakat, atau
bagaimana kepercayaan agama tertentu memengaruhi pola hubungan dengan umat
beragama lain.[3] Dalam bidang ini, yang menjadi obyek penelitian adalah
aspek manusiawi (imanen), yang mana aspek Ilahi (transendensi) diwujudkan di dalam perilaku
manusia sehari-hari.[4] Akan tetapi, hal-hal yang transenden tidak terlalu
diperhatikan atau dikesampingkan di dalam studi ini.[4]
Teologi agama-agama juga mempelajari aspek manusiawi dan
aspek Ilahi di dalam agama-agama.[1] Akan tetapi, teologi agama-agama justru lebih tertarik
untuk mempelajari aspek Ilahi yang memengaruhi perilaku sehari-hari, dalam hal
ini antara umat Kristen terhadap umat
beragama yang
lain.[1]
Teologi Agama-Agama dan Filsafat
Agama
Filsafat
agama merupakan
refleksi filosofis mengenai agama dengan menggunakan metode filsafat secara
sistematis dalam menganalisis isi pokok suatu agama, seperti konsep Tuhan,
Yang Suci, keselamatan, ibadah, kurban, doa, dan sebagainya.[3][5] Filsafat agama berupaya mencari pembenaran rasional dari
gerakan agama tertentu, serta memberi penilaian terhadapnya sehingga bersifat
normatif.[3] Teologi agama-agama juga memberikan penilaian seperti filsafat,
tetapi di dalam terang iman Kristen yang berupaya menilai agama-agama yang
lain, bukan berdasarkan rasionalitas seperti filsafat agama melainkan penyataan
Allah.[3]
Tuhan
Dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Artikel ini adalah mengenai Tuhan dalam
konteks monoteisme.
Untuk melihat artikel mengenaiTuhan dalam konteks politeisme,
lihat Dewa.
Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural,
biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia
dan alam
semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk
kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk
energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana
keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang
terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa
dimengerti atau dijelaskan.
Banyak tafsir daripada nama "Tuhan"
ini yang bertentangan satu sama lain. Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam
semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya lain-lain. Istilah Tuan
juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan
majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya
sahaya atau budak.
Konsep tentang Tuhan
Secara filsafat,
prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan
saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat
eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut, berbeda (distinct) dan unik.
Absolut artinya keberadaannya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami,
bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif,
bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif
itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh
jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada
pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran
itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran
mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau
diperbandingkan dengan yang lain (distinct). Kalau Tuhan dapat
diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak
dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya.
Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi mutlak.
Dalam gagasan Nietzsche, istilah
"Tuhan" juga merujuk pada segala sesuatu yang dianggap mutlak
kebenarannya. Sedangkan Nietzsche berpendapat tiada "Kebenaran
Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang tak-terbantahkan". Karenanya,
dia berkata, "Tuhan telah mati". "Kesalahan yang
tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan"
tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini
dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu
eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak
dan tak terbantahkan itu sama saja. Jadi, persoalan umat manusia dalam proses
pencairan Tuhan tiada lain proses penentuan peletakan dirinya kepada (segala)
sesuatu yang diterimanya sebagai 'tak terbantahkan', atau mutlak, atau absolut.
Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim Ph.D mendefinisikan Tuhan sebagai segala
sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela
didominirnya (Buku:Kuliah Tauhid).
Konsekuensi eksistensi Tuhan
Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak
terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang
akan datang. Tuhan tidak memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana
Tuhan hanya akan membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir
atau kapan mati.
Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan
akalnya dapat mencapai tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini,
kemutlakan Tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau
substansi Tuhan. Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa,
tentunya berasal dari Sang Mutlak atau Tuhan itu sendiri.
Di dunia ini banyak agama yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan.
Bahkan ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan
substansi Tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang
bervariasi tidak mungkin semuanya benar. Kalau substansi mutlak ini bervariasi,
maka hal itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan
informasi tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat
menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan
informasi Tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah mencerminkan
eksistensinya itu.
Teologi Agama-Agama Fenomenologi
Agama
Fenomenologi
agama adalah
bidang studi yang berupaya melihat kepelbagaian agama secara fenomenologis.[3] Fenomenologis artinya bagaimana pemeluk agama-agama
berbicara tentang apa yang mereka yakini dan percayai sejauh dapat diamati (fenomena).[3] Di sini, penilaian oleh pengamat dihindari dan keunikan
tiap agama berusaha dipertahankan.[3] Gejala-gejala yang diperbandingkan hanya untuk memperdalam
pengertian dari gejala-gejala religius yang dipelajari.[3] Di dalam teologi agama-agama, penilaian terhadap agama lain
dari perspektif kekristenan tidak dapat dihindarkan.[1] Akan tetapi, semangat yang mendasarinya bukan semangat
konfrontatif, melainkan justru bagaimana umat Kristen dan umat beragama lainnya
dapat hidup bersama secara harmonis di dalam konteks kemajemukan agama.[1]
Metode
Di dalam teologi agama-agama,
seseorang harus mulai dengan pemahaman yang setia sekaligus kritis terhadap
tradisi Kristen sendiri, lalu berupaya melihat agama yang lain di dalam terang
iman Kristen.[6] Pemahaman tersebut dapat tercapai melalui metode yang dapat
dipertanggungjawabkan, seperti metode empiris,
historis-kritis, filologis, fenomenologis, dan lain-lain.[6] Metode-metode tersebut dipakai untuk melihat tradisi
Kristen dengan lebih kritis maupun realitas kemajemukan agama, serta
mendialogkan keduanya sehingga tercapai perspektif tertentu dalam memandang
agama-agama lain.[1]