Selasa, 24 Januari 2012


PLURALISME

             Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
                  Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
             Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
          Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

PLURALISME AGAMA

Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
  • Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
  • Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
  • Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
  • Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda

PLURALISME MENURUT BERBAGAI AGAMA

1.      ISLAM

Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan(Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam.[1] Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. [2] Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. [3]
Di Indonesia, salah satu kelompok Islam yang mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal. Di halaman utama situsnya terulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama."[4]

2.      Kristen

Dalam dunia Kristen, pluralisme agama pada beberapa dekade terakhir diprakarsai oleh John Hick. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa menurut pandangan fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama. Dari sudut pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antartradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung arti berupa teori bahwa agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang misterius.

POLEMIK PLURALISME DI INDONESIA

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.
Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."

POLEMIK

Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :
  • pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
  • pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
  • pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.

CATATAN

Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam [1].
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.

Tiga Model Pandangan Teologi Agama-agama
Oleh : Lesman Giawa

Secara umum, ada tiga model pandangan teologi agama-agama: eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
1. Eksklusivisme
Pertama, pandangan eksklusivisme memiliki pandangan eksklusif mengenai keselamatan. Eksklusivisme menegaskan bahwa hanya di dalam agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen sama sekali tidak ada keselamatan. Ayat yang digunakan umumnya adalah kitab Kis 4:12 dan Yoh 14:6. Dalam Gereja Katolik, Paus Bonifasius VIII merumuskan pandangan ini dalam semboyan “Extra ecclesia nulla salus” yang berarti “diluar gereja tidak ada keselamatan”.
Teolog yang mewakili pandangan eksklusif adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Barth berpendapat bahwa agama adalah ketidakpercayaan. Agama-agama merupakan upaya manusia yang sia-sia untuk mengenal Allah. Allah hanya bisa dikenal kalau Allah sendiri yang memperkenalkan DiriNya. Allah sudah memperkenalkan diriNya didalam dan melalui Yesus Kristus. Injil adalah anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, sedangkan agama-agama adalah upaya manusia yang sia-sia. Sebab itu, tidak ada hubungan antara Injil dengan agama-agama. Tidak ada hubungan antara anugerah Allah di dalam Yesus Kristus dengan upaya sia-sia manusia. Ini juga berlaku bagi agama Kristen. Tetapi agama Kristen dibenarkan karena Injil anugerah yang dipegangnya.
Hal senada, namun beda argumen disampaikan Kraemer, yang berpendapat bahwa penyataan di dalam Yesus Kristus merupakan kriteria satu-satunya yang dengannya semua agama-agama, termasuk agama Kristen, dapat dimengerti dan dinilai. Yesus Kristus ditempatkan sebagai satu-satunya kriteria dalam memahami dan menilai agama-agama. Penyataan umum diakui keberadaannya, teologi naturalis, tetapi tidak berdiri sendiri. Penyataan umum itu harus terkait dalam penyataan diri Yesus. Titik tolak Kraemer adalah “biblical realism” (kenyataan alkitabiah) yang mengandung dua hal: realitas alkitabiah menunjuk pada kesaksian mendasar Alkitab tentang kemahakuasaan Allah dan keberdosaan manusia yang diperhubungkan dengan inkarnasi Yesus Kristus; dan pandangan mengenai agama-agama lain sebagai sistem yang meliputi segalanya, yang masing-masing ditandai pemahaman-pemahaman tersendiri akan totalitas eksistensi. Sebab itu, antara Injil dan agama-agama tidak ada kesinambungan.
2. Inklusivisme
Kedua, Pandangan inklusivisme yang berkembang sejak Konsili Vatikan II. Pandangan ini mengandung dialektika penerimaan dan penolakan agama-agama lain. Pada satu sisi, inklusivisme menerima adanya manifestasi rohani di dalam agama-agama lain, shingga dapat disebut suatu tempat bagi kehadiran ilahi. Pada pihak lain, agama-agama ditolak sebagai yang tidak mencukupi bagi keselamatan, karena hanya dalam krsitus saja ada keselamatan. Kitab yang dijadikan dasar adalah kitab Lukas 4:21, 24:27, Kis 10:34-35, Yoh 1:1-4.
Teologi agama-agama berpandangan inklusivisme ini dianjurkan oleh Yustinus Martir, Deklarasi Konsili Vatikan II, Karl Rahner dan Hans Kung.
Yustinus Martir, bapa gereja abad kedua, terkenal dengan istilahnya “Logos Spermatikos” (benih-benih logos/firman). Martir, berdasarkan Yoh 1:1-5, berpendapat bahwa di dalam dunia ada logos spermatikos yang merupakan bagian dari kehadiran Allah memelihara ciptaanNya yang telah dirusakkan oleh dosa. Sejajar dengan filsafat Stoa, ia yakin bahwa semua orang berpartisipasi dalam Akal kosmik universal, yaitu Logos ilahi yang abadi, yang menjadi prinsip dari rasionalitas yang terpadu merembesi kenyataan dasar alam semesta secara keseluruhan. Yesus Kristus itulah Logos ilahi yang abadi. Teori Logos Spermatikos menyatakan adanya kehadiran Kristus dalam dunia yang mengungkap kebenaran dalam filsafat dan dalam agama-agama.
Pandangan inklusivisme lainnya, kita peroleh dari Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam dokumen Nostra Aetate (Dewasa`Kita), yaitu Deklarasi tentang sikap gereja (Katolik) terhadap agama-agama bukan Kristen. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa dalam agama-agama lain, ada usaha menanggapi kegelisahan hati manusia dengan pelbagai cara sambil menganjurkan jalan, yakni ajaran (kultus), peraturan (etis), dan ibadat suci (ritus); gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama, dan memandang dengan penghargaan yang jujur bahwa tidak jarang itu memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi semua masnusia. Terhadap Hindu, Konsili Vatikan II memahami bahwa di dalam Hinduisme, manusia meneliti misteri ilahi lalu mengungkapkannya dengan perbendaharaan mitos yang luar biasa kaya dan dengan usaha-usaha filsafatnya yang tajam, dan mencari pembebasan melalui bentuk-bentuk meditasi yang mendalam, atau pula dengan berpaling kepada Allah dengan cita kasih dan pengharapan. Terhadap Budhisme, ada diajarkan jalan, yang dengannya manusia dapat mencapai tahap pembebasan sempurna atau atau dapat menggapai pencerahan tertinggi dengan usaha-usaha sendiri atau dengan bantuan dari atas. Terhadap Islam, yang menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan Maha kuasa, Pencipta, Yang berbicara kepada manusia. Terhadap Yahudi, gereja Katolik mendorong persaudaraan dengan umat Yahudi, dan menentang antisemitisme, sikap anti Yahudi oleh fasisme Hitler masa perang Dunia II yang menewaskan enam juta orang Yahudi.
Penganjur Inklusivisme, Karl Rahner, menggabungkan suatu teologi yang bersifat kristosentris dengan pengalaman keagamaan non-Kristen. Kristus tetap pusat dan kriteria dari anugerah dan penyelamatan Allah. Sebab itu, orang non-Kristen disebutnya sebagai orang Kristen anonim. Gagasan ini dikemukakan dalam empat tesis: agama Kristen ditujukan untuk semua orang, sehingga agama lain tak diakui; agama nonkristen menjadi saluran anugerah Allah dalam Kristus, sebelum Injil memasuki sejarah individunya; agama Kristen menghadapi agama lain sebagai Kristen anonim; orang Kristen sebagai barisan terdepan yang nyata dari harapan Kristen yang hadir sebagai realitas terselubung dalam agama-agama lain. Tokoh inklusif lainnya, Hans Kung, menyebut pendirian kritis-oikumenis, yang memandang agama dari luar dan dari dalam. Dari luar dengan pengakuan akan kebenaran dalam agama-agama, dan dari dalam, dengan kebenaran dalam agama sendiri. 

3. Pluralisme
Ketiga, pandangan Pluralisme yang tergolong kontroversial dan baru. Pandangan ini mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-agama, meskipun berbeda-beda. Dasarnya adalah pengkajian kembali berita Alkitab, khususnya mengenai Kristologi. Pluralisme menggeser Kristosentris ke Theosentris, dengan dasar kitab Yoh 14:28, 17:3, 1Kor 15:28, sikap teosentri Yesus, kitab Mazmur, nabi-nabi, dan filsafat agama. Penganjur pluralisme, E.Hocking, menekankan perubahan fungsi pekabaran Injil dari peran kristenisasi menjadi peran kemitraan dalam mengembangkan agama lain; Arnold Toynbee menganjurkan untuk mengakui agama-agama lain sambil berpegang teguh pada keyakinan agama sendiri; Ernst Troeltsch berpendapat bahwa kebenaran suatu agama terikat pada suatu kebudayaan tertentu, dan Allah bekerja melalui seluruh agama; John Hick menganjurkan revolusi Copernican dengan memindahkan pusat agama dari Kristus ke Allah, sebagaimana Copernicus (matahari pusat) mengubah pandangan geosentri Ptolemous (bumi pusat); Wilfred Cantwell Smith menekankan penerimaan dan penghargaan pada agama-agama lain (moral dan teologis), karena Allah yang memperkenalkan diri dalam Kristus penuh kasih dan yang menyelamatkan, termasuk dalam agama lain, dan agama/komunitas bersama-sama menuju pada satu tujuan akhir, yaitu Allah sendiri; Wesley Ariarajah menggeser tekanan kristosentrisme ke teosentrisme, dan mengusahakan dialog dalam penghargaan dan keterbukaan kepada agama-agama lain, ayat-ayat eksklusif mestilah dipahami dengan seluruh kesaksian Perjanjian Baru dan dipahami dari sudut bahasa iman, bahasa cinta.
Teologi agama-agama
(dalam bahasa Inggris Theology of Religions, dalam bahasa Latin Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu teologi yang membahas bagaimana kekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas agama di luar dirinya.[1] Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang positif antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi.[1] Salah satu pionir di dalam teologi agama-agama adalah teolog Inggris yang bernama Alan Race.[2]

Perbedaan Teologi Agama-Agama dengan Studi Agama-Agama
Teologi agama-agama merupakan bidang ilmu yang berbeda dengan studi agama-agama pada umumnya. Untuk menggambarkan perbedaan tersebut dengan lebih jelas, maka kita perlu membandingkan fokusnya masing-masing.
Teologi Agama-Agama dan Sosiologi Agama

Studi sosiologi agama-agama merupakan studi tentang hubungan-hubungan antara agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi.[3] Hal-hal yang menjadi perhatian dari studi ini adalah bagaimana kepercayaan-kepercayaan agama tertentu memengaruhi suatu masyarakat, atau bagaimana kepercayaan agama tertentu memengaruhi pola hubungan dengan umat beragama lain.[3] Dalam bidang ini, yang menjadi obyek penelitian adalah aspek manusiawi (imanen), yang mana aspek Ilahi (transendensi) diwujudkan di dalam perilaku manusia sehari-hari.[4] Akan tetapi, hal-hal yang transenden tidak terlalu diperhatikan atau dikesampingkan di dalam studi ini.[4]
Teologi agama-agama juga mempelajari aspek manusiawi dan aspek Ilahi di dalam agama-agama.[1] Akan tetapi, teologi agama-agama justru lebih tertarik untuk mempelajari aspek Ilahi yang memengaruhi perilaku sehari-hari, dalam hal ini antara umat Kristen terhadap umat beragama yang lain.[1]
Teologi Agama-Agama dan Filsafat Agama
Filsafat agama merupakan refleksi filosofis mengenai agama dengan menggunakan metode filsafat secara sistematis dalam menganalisis isi pokok suatu agama, seperti konsep Tuhan, Yang Suci, keselamatan, ibadah, kurban, doa, dan sebagainya.[3][5] Filsafat agama berupaya mencari pembenaran rasional dari gerakan agama tertentu, serta memberi penilaian terhadapnya sehingga bersifat normatif.[3] Teologi agama-agama juga memberikan penilaian seperti filsafat, tetapi di dalam terang iman Kristen yang berupaya menilai agama-agama yang lain, bukan berdasarkan rasionalitas seperti filsafat agama melainkan penyataan Allah.[3]

 

Tuhan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Artikel ini adalah mengenai Tuhan dalam konteks monoteisme. Untuk melihat artikel mengenaiTuhan dalam konteks politeisme, lihat Dewa.
Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Banyak tafsir daripada nama "Tuhan" ini yang bertentangan satu sama lain. Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya lain-lain. Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau budak.

Konsep tentang Tuhan

Secara filsafat, prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut, berbeda (distinct) dan unik. Absolut artinya keberadaannya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau diperbandingkan dengan yang lain (distinct). Kalau Tuhan dapat diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya. Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi mutlak.
Dalam gagasan Nietzsche, istilah "Tuhan" juga merujuk pada segala sesuatu yang dianggap mutlak kebenarannya. Sedangkan Nietzsche berpendapat tiada "Kebenaran Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang tak-terbantahkan". Karenanya, dia berkata, "Tuhan telah mati". "Kesalahan yang tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan" tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak dan tak terbantahkan itu sama saja. Jadi, persoalan umat manusia dalam proses pencairan Tuhan tiada lain proses penentuan peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai 'tak terbantahkan', atau mutlak, atau absolut. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim Ph.D mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya (Buku:Kuliah Tauhid).

Konsekuensi eksistensi Tuhan

Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.
Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang Mutlak atau Tuhan itu sendiri.
Di dunia ini banyak agama yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Bahkan ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi Tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak mungkin semuanya benar. Kalau substansi mutlak ini bervariasi, maka hal itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan informasi Tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah mencerminkan eksistensinya itu.


Teologi Agama-Agama Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama adalah bidang studi yang berupaya melihat kepelbagaian agama secara fenomenologis.[3] Fenomenologis artinya bagaimana pemeluk agama-agama berbicara tentang apa yang mereka yakini dan percayai sejauh dapat diamati (fenomena).[3] Di sini, penilaian oleh pengamat dihindari dan keunikan tiap agama berusaha dipertahankan.[3] Gejala-gejala yang diperbandingkan hanya untuk memperdalam pengertian dari gejala-gejala religius yang dipelajari.[3] Di dalam teologi agama-agama, penilaian terhadap agama lain dari perspektif kekristenan tidak dapat dihindarkan.[1] Akan tetapi, semangat yang mendasarinya bukan semangat konfrontatif, melainkan justru bagaimana umat Kristen dan umat beragama lainnya dapat hidup bersama secara harmonis di dalam konteks kemajemukan agama.[1]

Metode
Di dalam teologi agama-agama, seseorang harus mulai dengan pemahaman yang setia sekaligus kritis terhadap tradisi Kristen sendiri, lalu berupaya melihat agama yang lain di dalam terang iman Kristen.[6] Pemahaman tersebut dapat tercapai melalui metode yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti metode empiris, historis-kritis, filologis, fenomenologis, dan lain-lain.[6] Metode-metode tersebut dipakai untuk melihat tradisi Kristen dengan lebih kritis maupun realitas kemajemukan agama, serta mendialogkan keduanya sehingga tercapai perspektif tertentu dalam memandang agama-agama lain.[1]




Senin, 23 Januari 2012


MURID YANG SUKA BERTERIAK DALAM KELAS

1.      ROLE PLAY
Pemeran drama singkat yaitu :
Pak Sumarto    : Lesman Giawa
Murid-murid   : Ani, Dewi, sem, dan Fikar

2.      RINGKASAN MASALAH

Pada sebuah sekolah ada seorang guru SD kelas 1 untuk mata pelajaran IPA, yang bernama Pak Sumanto. Pada saat ia mulai mengajar dan berbicara dalam kelas, murid-muridnya juga ikut berbica, lalu ia mengingatkan mereka untuk tenang dan mereka pun tenang pada saat itu.
            Metode yang dilakukan guru dalam kegiatan anak setelah menjelaskan mata pelajaran yakni membentuk kelompok kecil. Kelompok kecil tersebut untuk melakukan percobaan yang baru saja ditunjukkan, beberapa menit kemudian dalam kelompok terjadi keributan-keributan yang sangat mengganggu kerja kelompok. Oleh sebab itu Pak Sumarto menegur dengan cara berteriak, lalu sejenak mereka hening tetapi beberapa menit kemudian mereka kembali melakukan hal keributan lagi. Pola ini dilakukan oleh guru tersebut setiap hari.


3.      SOLUSI TERHADAP MASALAH

Langkah 1

Sebelum membagi kelompok kecil untuk murid-murid, seharusnya seorang guru harus menjelaskan tugas kelompok kecil menjelaskan aturan dan prosedur dalam kerja kelompok kecil dan menjelaskan tugas, yaitu dengan memilih ketua kelompok dalam masing-masing kelompok kecil. Dan berusaha menata tempat kerja kelompokkecil yang tepat. Lalu setelah itu membagi peran terhadap masing-masing kelompok. Sehingga hal ini bisa membuat anak konsentrasi dalam melakukan aktifitasnya. Dan meminimalisir keributan dalam kelompok kecil.

Langkah 2

Seorang guru yang efektif harus mampu mengatasi keributan murid dalam kelas, dengan cara yang mudah dilakukan dan diteriam oleh anak. Misalnya dengan memakai kata kunci “tepuk diam”. Hal ini dilakukan oleh menghentikan keributan dan agar guru mendapat kesempatan dalam berbicara. Dan memberi motivasi kepada murid untuk bekerja dengan baik.


Langkah 3

Disaat mereka tenang, kesempatan ini digunakan oleh guru untuk menjelaskan kepada murid-murid bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas dan kemampuan tersebut harus dikomunikasikan oleh guru-guru kepada murid-murid. Dan membangkitkan motivasi murid untuk bekerja dalam kelompok dan menyukai kegiatan tersebut. seorang harus memberi pujian bagi murid-murid yang mulai bekerja dalam kelompok.
Dan guru harus mengontrol kerja kelompok dengan memperhatikam setiap kelompok. 

Langkah 4

Apabila langkah satu sampai langkah ketiga tidak berhasil, maka tindakan selanjutkan memberi informasi tentang konsekuensi apabila kelompok tidak dapat menyelesaikan kerja dalam kelompok.

4.      PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mengatasi masalah keributan anak dalam kelas sangat dibutuhkan kesabaran yang tinggi dari seorang guru. Dan dengan efektif seorang guru menemukan berbagai cara yang cocok untuk mengatasi masalah tersebut. Dan cara berteriak bukanlah cara yang bagus untuk menenangkan murid dalam kelas.
B.     Saran
Menangani keributan siswa dalam kelompok seorang guru harus memilih satu model untuk mendisplin murid dalam kelas, yakni model canter.